Jumat, 11 Maret 2016

UU No.23 Tahun 1999 TENTANG BANK INDONESIA

BAB V
TUGAS MENGATUR DAN MENJAGA KELANCARAN SISTEM PEMBAYARAN
          Bank indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan menjaga sistem perbankan sesuai dengan pasal 15 UU no. 23 tahun 1999 tentang bank Indonesia berwenang untuk :

1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan sistem pembayaran
2. mewajibkan jasa sistem pembayaran menyimpan laporan tentang kegiatan
3. menetapkan penggunaan alat pembayaran

Dari kewenangan tersebut bank Indonesia berwenang untuk mengatur sistem kliring, menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi, menetapkan macam harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran, mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah, serta mencabut menarik dan memusnahkan uang dari peredaran (sesuai dengan pasal 16-20 UU no.23 tahun 1999).
Dalam sistem pembayaran (termasuk dalam lalulintas pembayaran) merupakan proses penyelesaian pembayaran transaksi komersial dari pembayar kepada penerima melalui media bank, termasuk lingkup dalam negeri maupun luar negeri, yang dilaksanakan melalui cara kliring, transfer, atau inkaso. Peranan lalulintas pembayaran merupakan penghubung dan dinamisator perdagangan itu sendiri. Adapun unsur unsur yang menjadi pendukung lalulintas pembayaran diantaranya :
1. Bank sentral.
2. Lembaga kliring.
3. Hubungan kerja sama antar bank, bank dalam negeri maupun dengan bank koresponden
4. Sarana komunikasi yang baik 
Kliring yang dapat dilaksanakan bank Indonesia, baik meliputi kliring domestik maupun kliring lintas negara. Dalam pelaksanaan kliring lintas negara, maka harus ditetapkan persyaratan bagi BI atau bank dalam keanggotaan pada sistem kliring yang bersifat regional atau internasional, dan menetapkan peraturan mengenai kesepakatan antara BI atau lembaga lain sebagai penyelenggara sistem pembayaran dengan bank central dan lembaga penyelenggara sistem negara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan kliring dan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
Dalam pelaksanaan kliring BI dapat menunjuk pihak lain dengan menentukan jenis penyelenggaraan kliring, persyaratan, bentuk hukum dan tata cara pemberian persetujuan terhadap pihak yang akan melakukan kliring.
Kegiatan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bankdapt dilakukan oleh pihak lain dengan mendapat persetujuan dari BI.peraturan bank indonesia mengatur mengenai:
  1. Jenis penyelanggaraan jasa sistem pembayaran dan prosedur pemberian persetujuan dilakukan oleh BI.
  2. Menejemen resiko termasuk tanggung jawab dari penyelenggara jasa sistem pembayaran
  3. Persyaratan keamanan dan efisiensi dalam penyelanggaran jasa sistem pembayaran.
  4. Penyelangara jasa sistem pembayaran wajib menyampaikan sistem pembayaran
  5. Laporan kegiatan harus disampaikan pada BI
  6. Jenis alat pembayaran yang dapat digunakan oleh masyarakat termasuk alat pembayaran yang bersifat elektronik, seperti kartu ATM, kartu debet ,kartu kredit, kartu prabayar, kartu elektronik.
  7. Persyaratan keamanan alat pembayaran.
  8. Sanksi administratif berupa denda pembayaran ketentuan pada angka 1,4 dan 6 keatas.
Materi pengaturan sistem pembayaran tersebut berdasarkan prinsip kehati-hatian dan disesuaikan dengan standar internasional. Agar penyelenggara jasa sistem pembayaran berjalan secara aman, efisian, dan efektif bagi penggunanya. Serta untuk meningkatkan aspek perlindungan konsumen, pemenuhan prinsip pengenalan nasabah, serta pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang dalam sistem pembayaran kususnya mengenai transfer dana. 
Dengan diaturnya segala aspek terkait dengan kegiatan dalam sistem pembayaran khusunya transfer dana diharapkan para pihak lokal dan interlokal semakin yakin dan merasa aman melakukan kegiatan pembayaran melalui transfer dana. Kondisi tersebut secara langsung berdampak pada meningkatnya teransaksi pembayaran melalui transfer dana yang pada akirnya akan mendorong kelancaran perkembangan ekonomi tanah air.
BAB VI
TUGAS BANK INDONESIA DALAM MENGATUR DAN MENGAWASI BANK
Sesuai dengan ketentuan pasal 24 UU no 23 tahun 1999 BI berwenang menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundang-undangan. Mengcu pada ketentuan tersebut maka sangat jelas bahwa BI memiliki kewenangan, tanggung jawab dan kewajuban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat prefentifmaupun represif. Selain berpedoman pada UU no 23 tahun 1999 juga mengacu kepada UU no 7 tahun 1992 tentang perbankan dan UU no 10 tahun 1998.
Sesuai pasal 27 UU No.23 tahun1999 pengawasan yang dilaksanakan BI terhadap bank dapat berupa pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan dengan tindakan tindakan perbaikan. Juga dapat berupa pengawasan tidak langsung yaitu berbentuk pengawasan dini melalui penelitian, penganalisisan dan pengevaluasian laporan bank. BI dalam melakukan pengawasan harys secara berkala yang sekurang kurangnya setahun sekali untuk setiap bank. Pemeriksaan juga dapat dilakukan secara insidentil setip waktu apabila diperlukan dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan. Selaku otoritas pembina dan pengawas bank maka BI berhak menetapkan peraturan yang meliputi aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. Sedangkan menyangkut perizinan tindakan BI dapat berupa :
  1. Pemberian dan pencabutan izin usaha bank
  2. Pemberian izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank serta peningkatan setatus kantor bank
  3. Pemberian persetujuan atas kepemilikan (merger,konsolidasi,akuisisi) dan kepengurusan bank
  4. Pemberian izin kepada bank umum untuk mejalankan kegiatan tertentu.
     Dalam hal pemberian izin dan pencabutanya berbentuk Keputusan Gubernur  B I.(Pasal 34 UU No.23 tahun 1999) Dalam perkembangan menyangkut tugas pengawasan, masalah yang ditangani oleh BI akan diterapkan kepada Lembaga Pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, yang ada kaitanya  dengan BI sebagai bank sentral. Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisoryboard) atau Otoritas Jasa Keuangan ini dalam menjalankan tugas dan kedudukanya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada badan pemeriksa keuangan dan BPR.
OJK kewenanganya tidak terbatas mengawasi bidang perbankan saja tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainya, yang meliputi asurasi dana pension, sekuritas, modal ventura, perusahaan pembiayaan dan badan-badan lain yang menyelengarakanpengelolaan dana masyarakat.
Lembaga pengawasan tersebut harus mempunyai hubungan kordinasi yang baik dengan BI, diantaranya menyangkut keterangan dan data makro perbankan yang ada. Salah satu instumen B I dalam pelaksanaan pemgawasan yaitu berbentuk prinsip kepantasan dan kelayakan mengoperasikan bank (fit and proper) untuk pengurus dan pemilik bank hal ini bertujuan untuk pihak pihak yang menggeluti perbankan melaksanakan good corporate governance. Hal lain yang dipakai B I dalam pengawasan menyangkut perkreditan yaitu pencegah tindakan mark up yang dilakukan debitur bank.BI mengeluarkan pedoman kredit bank yang didalamnya memuat sanksi untuk yang melanggar. Namun law forcement belum dilaksanakan dengan baik. Dengan landasan UU no, 23 tahun 1999 maka BI mengharuskan salah satu direksi bank sebagai compliance direktor yang bertugas memastikan bank itu taat pada aturan perbankan yang berlaku. 
Referensi :
 Muhammad Djumhana, hukum perbankan di Indonesia,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2012) 
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Edisi-2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002).
NAMA KELOMPOK :
Henda Destriani
Lailatul fitria
Lina indah yunaini
M. Nur Arsyir R
      Siti Mafatichul Mustafida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar