Selasa, 06 Oktober 2015

Analisis Sosiologis


Contoh Kasus Sosial Atas
 Artalyta Suryani menyuapan Jaksa Penyidik kasus (BLBI)
Artalyta Suryani alias Ayin adalah seorang pengusaha yang dikenal karena keterlibatannya dalam penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta pada tanggal 29 Juli 2008, atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan di Jalan Terusan Hang Lekir II WG-9, Simprug, Jakarta Selatan. Dalam kasus serupa, Urip malah divonis 20 tahun penjara.
Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan banyak pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Kasus ini juga heboh karena adanya penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.
Artalyta ditangkap petugas KPK pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip tertangkap dengan uang 660.000 dolar AS di tangan. Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim.
Artalyta resmi ditahan pada 3 Maret 2008 di rumah tahanan Pondok Bambu. Pada Juli 2008, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Ayin lima tahun penjara. Ayin terbukti menyuap Jaksa Urip. Kejaksaan sebenarnya sempat menghentikan penyelidikan tersebut melalui Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008.
Namun, percakapan antara Artalyta, Urip dan Kemas yang disadap oleh KPK menunjukkan adanya suap dan keterlibatan Artalyta dalam penghentian kasus BLBI tersebut, sehingga kasusnya bergulir.
Di persidangan, Artalyta mengaku tidak bersalah, dan menyatakan uang tersebut merupakan bantuan untuk usaha bengkel Urip. Majelis Hakim menolak pengakuan tidak bersalah Artalyta, dan menilai perbuatan Artalyta telah mencederai penegakan hukum di negeri ini. Setelah dijatuhi vonis, Artalyta mengajukan banding. Upaya yang dilakukannya untuk memperoleh keringanan putusan, baru diperoleh di tingkat Peninjauan Kembali. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK Artalyta.
Putusan PK itu meralat vonis lima tahun yang diterima Artalyta sejak dari pengadilan tingkat pertama. Jika dihitung sejak pertama kali ditahan, Artalyta baru menjalani hukuman selama 2 tahun 9 bulan dan 23 hari. Jika dihitung 2/3 masa tahanan dari 4,5 tahun, dia seharusnya baru bebas setelah menjalani hukuman selama 36 bulan atau 3 tahun, atau masih tersisa sekitar 2 bulan 7 hari, pada saat ia menghirup udara bebas. Pembebasan bersyarat itu berlangsung pada tanggal 27 Januari 2011.
Masalah pembebasan bersyarat ini memang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No: M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pada Pasal 7 Ayat (2) huruf f disebutkan, untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.
Sebelumnya pernah beredar dokumen yang menyatakan Artalyta mendapatkan remisi selama 2 bulan 20 hari. Usulan remisi itu diajukan oleh Kepala Lapas Wanita Tangerang dan Kepala Kantor Kemenkum HAM Wilayah Banten Poppy P dan diperkuat surat Irjen Kemenkum HAM Sam L Tobing kepada Menkum HAM. Surat Irjen yang menanyakan tidak kunjungnya persetujuan atas usulan pemberian remisi terhadap Artalyta itu bertanggal 8 Oktober 2010.
Setelah itu, muncul juga Keputusan Menkumham pada 2010 yang memberikan remisi umum tahun 2010 dan remisi pemuka tahun 2010 kepada Ayin sebanyak 2 bulan 20 hari. Keputusan itu ditandatangani Kepala Kanwil Kemenkum HAM Banten Poppy P pada 27 Desember 2010. Begitulah enaknya jadi koruptor, sudah dihukum rendah, dipotong-potong pula.
Apalagi, selama dalam penjara, hidup Ayin ternyata tidak jauh dari sebelumnya. Ruangan yang dihuninya di Rutan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, berbeda dengan yang lain. Fasilitasnya lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya. Hal ini terungkap saat inspeksi mendadak Rutan Pondok Bambu pada awal Januari 2010.
Sumber: skandalindonesia.wordpress.com
Contoh Kasus Sosial Bawah
Pencurian sandal jepit dihukum 5tahun
AAL (15) , pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, tentu tidak pernah menyangka karena mencuri sandal jepit seharga Rp 30 ribu ia harus berhadapan dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah. AAL didakwa mencuri sepasang sandal jepit bermerek milik Brigadir Polisi Ahmad Rusdi Harahap dari kos-kosannya pada November 2010 lalu. Hakim Tunggal PN Palu Rommel F Tampubolon yang menyidangkan kasus ini, Selasa 20 Desember sudah mendengarkan dakwaan jaksa. AAL didakwa Jaksa Naseh melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan dituntut 5 tahun penjara. Terdakwa AAL didampingi Penasihat Hukum Elvis Dj Katuwu yang sampai akhir persidangan terus berkata tak habis pikir lantaran kasus ini bisa sampai ke pengadilan. “Masih banyak kasus-kasus besar yang harus kita prioritaskan. Ini kasus kenakalan anak-anak biasa. Pelakunya pun di bawah umur. Semestinya sejak awal kasus ini berakhir dengan jalan lebih bijak ketimbang membawanya ke pengadilan,” kata Elvis. Dari paparan dakwaan Jaksa Naseh, kisah ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kost Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap melihat ada sandal jepit, ia kemudian mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil AAL dan temannya. Menurut Ahmad, polisi itu, kawan-kawannya juga kehilangan sandal. AAL dan temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan sandal itu. Tim penasihat hukumnya menganggap aneh bila kasus ini terus berlanjut ke pengadilan dan hanya melibatkan AAL, padahal AAL hanya mengakui mencuri sepasang sandal. Persidangan kasus ini berlangsung tertutup karena AAL berstatus di bawah umur. Sebanyak 10 orang penasihat hukum mendampingi AAL lantaran menganggap kasus ini penting menjadi bahan pelajaran hukum bagi masyarakat umum. “Kasus kecil diseriusi, tapi kasus-kasus besar jarang sampai ke pengadilan,” sahut Elvis. Akhirnya, hanya untuk kasus pencurian sandal seharga Rp 30 ribu saja, AAL terancam 5 tahun penjara.
sumber : detik.com

Tabel Perbandingan kasus
NO
Macam macam
Sosial Atas
Sosial Bawah
1
Jenis Pidana
penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan
Pencurian sandal jepit
2
Nama
Artalyta Suryani alias Ayin
Inisial ALL (15)
3
Jumlah korban
Masyarakat Indonesia dan negara  Indonesia
1 korban. (Brigadir Polisi Ahmad Rusdi)
4
Jumlah kerugian
(materil atau imateril)
Materil : uang 660.000 dolar AS
Imateril:
Materil : sandal jepit seharga Rp 30 ribu
Imateril:
5
Perlakuan Aparat
Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta, tetapi Artalyta sejak dari pengadilan tingkat pertama pada tanggal 29 Juli 2008. Jika dihitung sejak pertama kali ditahan, Artalyta baru menjalani hukuman selama 2 tahun 9 bulan dan 23 hari. Jika diremisi dihitung 2/3 masa tahanan dari 4,5 tahun, dia seharusnya baru bebas setelah menjalani hukuman selama 36 bulan atau 3 tahun, atau masih tersisa sekitar 2 bulan 7 hari, pada saat ia menghirup udara bebas. Pembebasan bersyarat itu berlangsung pada tanggal 27 Januari 2011.
Oleh hakim AAL didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan terancam 5 tahun penjara.
6
Fasilitas yang di dapat
Mendapatkan fasilitasnya dalam penjara lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya


Analisis Sosiologis
Dari dua kasus diatas dapat di simpulkan bahwa hukum di indonesia sangat tidak adil. Adanya perbedaan hukum untuk kaum sosial atas dan sosila bawah. Hukum di indonesia “runcing kebawah tumpul keatas .Adanya perbedaan antara hukum untuk kaum sosial atas seperti pejabat atau orang kaya yang lebih di istimewakan dalam menangani serta dalam penjara mereka mendapatkan fasilitas yang mewah sesuai keinginannya. Padahal dilihat dari kasus diatas, para kaum sosial atas melakukan tindakan yang tidak hanya merugikan satu atau dua orang tetapi merugikan seluruh masyarakat indonesia dan negara indonesia .
Sedangkan kaum sosial bawah, seperti orang orang miskin mendapatkan perilaku hukum  yang sangat berat. Padahal dalam kasusnya para sosial bawah melakuk tindakan yang mungkin hanya bernilai nominal kecil dan merugikan sebagian kecil orang. Tetapi mendapatkan hukuman yang seberat beratnya, tanpa melihat sisi lain kejadian tersebut.Para penegak hukum seharusnya mengadili secara adil. Tidak membedakan antara kaum Sosial Atas dan Sosial Bawah. Hukum diciptakan untuk semua kalangan tanpa melihat siapa yang terkena kasus hukum
Kondisi hukum di indonesia saat ini lebih sering menunai kritikan dari masyarakat. Masyarakat menilai hukum di indonesia bisa di beli orang yang mempunyai jabatan, nama, dan kekuasaan.Yang punya banyak uang pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara melarangnya. Dan hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil. Masyarakat indonesia ingin hukum di indonesia ditegakkan setegak-tegaknya dan adil seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku.