Contoh Kasus
Sosial Atas
Artalyta Suryani menyuapan Jaksa Penyidik
kasus (BLBI)
Artalyta Suryani alias Ayin
adalah seorang pengusaha yang dikenal karena keterlibatannya dalam penyuapan
jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun
penjara dan denda Rp250 juta pada tanggal 29 Juli 2008, atas penyuapan terhadap
Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan di Jalan Terusan Hang
Lekir II WG-9, Simprug, Jakarta Selatan. Dalam kasus serupa, Urip malah divonis
20 tahun penjara.
Kasus ini mendapat banyak
perhatian karena melibatkan banyak pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan
menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Kasus ini juga heboh
karena adanya penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan
hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional
Indonesia.
Artalyta ditangkap petugas KPK
pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip tertangkap dengan uang 660.000 dolar
AS di tangan. Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan
pengusaha besar Sjamsul Nursalim.
Artalyta resmi ditahan pada 3
Maret 2008 di rumah tahanan Pondok Bambu. Pada Juli 2008, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi memvonis Ayin lima tahun penjara. Ayin terbukti menyuap Jaksa
Urip. Kejaksaan sebenarnya sempat menghentikan penyelidikan tersebut melalui
Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008.
Namun, percakapan antara
Artalyta, Urip dan Kemas yang disadap oleh KPK menunjukkan adanya suap dan
keterlibatan Artalyta dalam penghentian kasus BLBI tersebut, sehingga kasusnya
bergulir.
Di persidangan, Artalyta
mengaku tidak bersalah, dan menyatakan uang tersebut merupakan bantuan untuk
usaha bengkel Urip. Majelis Hakim menolak pengakuan tidak bersalah Artalyta,
dan menilai perbuatan Artalyta telah mencederai penegakan hukum di negeri ini.
Setelah dijatuhi vonis, Artalyta mengajukan banding. Upaya yang dilakukannya
untuk memperoleh keringanan putusan, baru diperoleh di tingkat Peninjauan
Kembali. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK Artalyta.
Putusan PK itu meralat vonis
lima tahun yang diterima Artalyta sejak dari pengadilan tingkat pertama. Jika
dihitung sejak pertama kali ditahan, Artalyta baru menjalani hukuman selama 2
tahun 9 bulan dan 23 hari. Jika dihitung 2/3 masa tahanan dari 4,5 tahun, dia
seharusnya baru bebas setelah menjalani hukuman selama 36 bulan atau 3 tahun,
atau masih tersisa sekitar 2 bulan 7 hari, pada saat ia menghirup udara bebas.
Pembebasan bersyarat itu berlangsung pada tanggal 27 Januari 2011.
Masalah pembebasan bersyarat
ini memang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No: M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pada Pasal 7 Ayat (2) huruf f
disebutkan, untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 dari
masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak
tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3
tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.
Sebelumnya pernah beredar
dokumen yang menyatakan Artalyta mendapatkan remisi selama 2 bulan 20 hari.
Usulan remisi itu diajukan oleh Kepala Lapas Wanita Tangerang dan Kepala Kantor
Kemenkum HAM Wilayah Banten Poppy P dan diperkuat surat Irjen Kemenkum HAM Sam
L Tobing kepada Menkum HAM. Surat Irjen yang menanyakan tidak kunjungnya
persetujuan atas usulan pemberian remisi terhadap Artalyta itu bertanggal 8
Oktober 2010.
Setelah itu, muncul juga
Keputusan Menkumham pada 2010 yang memberikan remisi umum tahun 2010 dan remisi
pemuka tahun 2010 kepada Ayin sebanyak 2 bulan 20 hari. Keputusan itu
ditandatangani Kepala Kanwil Kemenkum HAM Banten Poppy P pada 27 Desember 2010.
Begitulah enaknya jadi koruptor, sudah dihukum rendah, dipotong-potong pula.
Apalagi, selama dalam penjara,
hidup Ayin ternyata tidak jauh dari sebelumnya. Ruangan yang dihuninya di Rutan
Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, berbeda dengan yang lain. Fasilitasnya
lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, dapur mewah, lemari makanan,
pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan berbagai peralatan untuk keperluan
bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya. Hal ini
terungkap saat inspeksi mendadak Rutan Pondok Bambu pada awal Januari 2010.
Sumber: skandalindonesia.wordpress.com
Contoh Kasus
Sosial Bawah
Pencurian
sandal jepit dihukum 5tahun
AAL (15) , pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3
Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, tentu tidak
pernah menyangka karena mencuri sandal jepit seharga Rp 30 ribu ia harus
berhadapan dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah. AAL
didakwa mencuri sepasang sandal jepit bermerek milik Brigadir Polisi Ahmad
Rusdi Harahap dari kos-kosannya pada November 2010 lalu. Hakim Tunggal PN Palu
Rommel F Tampubolon yang menyidangkan kasus ini, Selasa 20 Desember sudah
mendengarkan dakwaan jaksa. AAL didakwa Jaksa Naseh melakukan tindak pidana
sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan dituntut 5 tahun penjara.
Terdakwa AAL didampingi Penasihat Hukum Elvis Dj Katuwu yang sampai akhir
persidangan terus berkata tak habis pikir lantaran kasus ini bisa sampai ke
pengadilan. “Masih banyak kasus-kasus besar yang harus kita prioritaskan. Ini
kasus kenakalan anak-anak biasa. Pelakunya pun di bawah umur. Semestinya sejak
awal kasus ini berakhir dengan jalan lebih bijak ketimbang membawanya ke
pengadilan,” kata Elvis. Dari paparan dakwaan Jaksa Naseh, kisah ini bermula
pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan
kost Brigadir Polisi Satu Ahmad Rusdi Harahap melihat ada sandal jepit, ia
kemudian mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil
AAL dan temannya. Menurut Ahmad, polisi itu, kawan-kawannya juga kehilangan
sandal. AAL dan temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan
sandal itu. Tim penasihat hukumnya menganggap aneh bila kasus ini terus
berlanjut ke pengadilan dan hanya melibatkan AAL, padahal AAL hanya mengakui
mencuri sepasang sandal. Persidangan kasus ini berlangsung tertutup karena AAL
berstatus di bawah umur. Sebanyak 10 orang penasihat hukum mendampingi AAL
lantaran menganggap kasus ini penting menjadi bahan pelajaran hukum bagi
masyarakat umum. “Kasus kecil diseriusi, tapi kasus-kasus besar jarang sampai
ke pengadilan,” sahut Elvis. Akhirnya, hanya untuk kasus pencurian sandal
seharga Rp 30 ribu saja, AAL terancam 5 tahun penjara.
sumber
: detik.com
Tabel Perbandingan kasus
NO
|
Macam macam
|
Sosial Atas
|
Sosial Bawah
|
1
|
Jenis Pidana
|
penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa
Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan
|
Pencurian sandal jepit
|
2
|
Nama
|
Artalyta Suryani alias Ayin
|
Inisial ALL (15)
|
3
|
Jumlah korban
|
Masyarakat Indonesia dan negara Indonesia
|
1 korban. (Brigadir Polisi Ahmad Rusdi)
|
4
|
Jumlah kerugian
(materil atau imateril)
|
Materil : uang 660.000 dolar AS
Imateril:
|
Materil : sandal
jepit seharga Rp 30 ribu
Imateril:
|
5
|
Perlakuan Aparat
|
Artalyta dinyatakan bersalah oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara
dan denda Rp250 juta, tetapi Artalyta sejak dari pengadilan tingkat
pertama pada tanggal 29 Juli 2008. Jika dihitung sejak pertama kali ditahan,
Artalyta baru menjalani hukuman selama 2 tahun 9 bulan dan 23 hari. Jika diremisi dihitung 2/3 masa tahanan dari 4,5 tahun, dia
seharusnya baru bebas setelah menjalani hukuman selama 36 bulan atau 3 tahun,
atau masih tersisa sekitar 2 bulan 7 hari, pada saat ia menghirup udara
bebas. Pembebasan bersyarat itu berlangsung pada tanggal 27 Januari 2011.
|
Oleh hakim AAL didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP
Pidana tentang pencurian dan terancam 5
tahun penjara.
|
6
|
Fasilitas yang di dapat
|
Mendapatkan fasilitasnya dalam penjara lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa,
dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan
berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki
tiga pembantu untuk melayaninya
|
Analisis Sosiologis
Dari dua kasus diatas dapat di simpulkan bahwa hukum di
indonesia sangat tidak adil. Adanya perbedaan hukum untuk kaum sosial atas dan
sosila bawah. Hukum di indonesia “runcing kebawah tumpul keatas .Adanya
perbedaan antara hukum untuk kaum sosial atas seperti pejabat atau orang kaya
yang lebih di istimewakan dalam menangani serta dalam penjara mereka mendapatkan
fasilitas yang mewah sesuai keinginannya. Padahal dilihat dari kasus diatas,
para kaum sosial atas melakukan tindakan yang tidak hanya merugikan satu atau
dua orang tetapi merugikan seluruh masyarakat indonesia dan negara indonesia .
Sedangkan kaum sosial bawah, seperti orang orang miskin
mendapatkan perilaku hukum yang sangat
berat. Padahal dalam kasusnya para sosial bawah melakuk tindakan yang mungkin
hanya bernilai nominal kecil dan merugikan sebagian kecil orang. Tetapi
mendapatkan hukuman yang seberat beratnya, tanpa melihat sisi lain kejadian
tersebut.Para penegak hukum seharusnya mengadili secara adil. Tidak membedakan
antara kaum Sosial Atas dan Sosial Bawah. Hukum diciptakan untuk semua kalangan
tanpa melihat siapa yang terkena kasus hukum
Kondisi hukum di indonesia saat ini lebih sering menunai
kritikan dari masyarakat. Masyarakat menilai hukum di indonesia bisa di beli
orang yang mempunyai jabatan, nama, dan kekuasaan.Yang punya banyak uang pasti
aman dari gangguan hukum walau aturan negara melarangnya. Dan hukum hanya
berlaku untuk rakyat kecil. Masyarakat indonesia ingin hukum di indonesia
ditegakkan setegak-tegaknya dan adil seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang
berlaku.